Rindu Itu Rasa, Bukan Sekedar Kata-Kata


Masih terekam dengan jelas, bagaimana perpisahan sementara ini kita mulai. Di beranda Fakultas Teknik Universitas Khairun kala itu, kita sama-sama sepakat untuk saling melepas genggam yang sudah erat, mengalihkan pandang yang sudah kian terpadu satu dan mengucapkan ikrar untuk selalu saling mendoakan apapun keadaannya. Aku menatap punggung tegapmu dengan mata yang sedikit terhiasi oleh nanarnya airmata. Jelas, hatiku tak kuasa menerima kenyataan bahwa kini sudah waktunya bagi kita saling mendewasa dan mempercayakan segalanya sekalipun jarak yang terang-terangan berkuasa. Dari sinilah semuanya bermula, aku merasakan apa itu Rindu....

Katanya, sekarang jarak bukanlah penghalang. Aku tidak sepakat dengan itu. Sekalipun, kini aku sudah lihai menggunakan handphone beserta media sosial yang ada dan kita sering bercakap lewat media itu. Tetap saja, untuk urusan Rindu, penawarnya memang hanya satu, yakni temu. Aku boleh saja menuliskan beragam kata perihal rindu di semua media sosial yang mengatasnamakan aku, tapi tetap saja aku kalah telak. Bukannya berkurang, rindu ini kian menggebu. Bahkan, aku perlu merengek pada Tuhan, agar rinduku padamu tetap dapat terkendalikan dengan cara yang paling bijaksana. Dan, itu dikabulkan. Aku senang.

Rindu adalah bagian rasa yang terlalu sering aku bahas dalam sajak, cerita bahkan novel yang aku tulis. Tapi, ada hal yang tak bisa aku jawab sendiri. Yakni sampai kapan rindu ini giat meneriakkan namamu? Aku pernah kalah sebelumnya, namun kini aku sendiri yang menafsirkan jawabannya. Seseorang pernah menasehati "Jangan percayakan hatimu, pada yang jauh. Karena yang jauh, akan mempercayakan hatinya pada yang dekat dengannya." Ini benar. Lantas bagaimana dengan kita? Berada pada makna yang "dekat" atau yang "jauh"?. Butuh waktu, bagiku memahami ini. Dan, Tuhan memberiku jawaban bahwa kita berada pada makna yang "dekat". Aku menemukannya di segala lakumu bukan kata-kata kala kita berdekatan. Bagaimana kau menunjukkan kasih sayang itu dengan jelas, bukankah aku pun berhak mengartikan itu sebagai makna yang luas? Aku menyebutnya sebagai wujud dari sebuah "rasa hormat", Maka sampailah aku pada sebuah definisi bahwa cinta adalah sebuah penghormatan, dan aku mempelajarinya dari caramu mengistimewakan aku lewat lakumu sebab memang kau tidak terlahir sebagai sekelompok orang yang hanya mengandalkan kata. Bahkan padaku, kau menegaskan berkali-kali bahwa kata-kata itu bisa dihapus namun laku dan perbuatan akan terus mampu menjadi kenangan. Ah, kau jauh lebih unggul dariku rupanya.

Jangan terjebak, lakukan saja sesuai dengan hatimu. Dan saat aku menawarkan jarak itu sekali lagi. Maka tatapanmu, justru dengan tegas menyiratkan bahwa kau mengatakan tidak dan itu pun juga berlaku pada lisanmu. Rindu adalah soal rasa dan itu berurusan pada hati, jangan terlalu sering mengujinya sementara kau pun punya hati kan? Itu katamu sembari tersenyum padaku. Aku terkesiap. Semesta terlalu manis bersolek saat waktu senjanya tiba. Sama seperti kita, yang telah sama-sama sepakat bahwa Rindu adalah perihal rasa dan bukan sekedar kata-kata.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Selamanya Desember Kelabu

Kepadamu, Hatiku Memilih Untuk Pulang