Kepadamu, Hatiku Memilih Untuk Pulang



Waktu kian bertandang tanpa peduli, hingga akhirnya aku kembali pada sekian kenangan yang telah lama aku hempaskan dari hidupku. Tak ingin lagi mengingat apapun, terutama segalanya tentangmu. Itu merepotkan bagiku. Aku berulang kali menghela nafas kala ingatanku terbawa melayang kesana-kemari tak menentu kala mataku dengan jelas membidik senyuman itu di bibir mungilmu. Barangkali, begitulah cinta harus menyerahkan dirinya sekali lagi setelah sekian lama menyombongkan diri untuk membela bhwa perih itu sudah tak lagi membekas. Namun nyatanya, perih itu masih ada, bahkan begitu jelas sama seperti sediakala.

Entahlah, ini takdir yang terlalu lucu atau memang Tuhan sedang menguji perihal kekeras kepalaanku tentangmu. Menyatakan dengan lantang bahwa hati ini tak akan luluh pada semua retrorikanya yang begitu penuh bualan itu. Tapi, ternyata aku lupa bahwa ini adalah urusan rasa yang langung kepada hati. Bagaimana bisa aku menentang hatiku sendiri dengan alasan kompromi akan isi kepalaku. Selalu ada maaf yang terbentuk manis untuknya, sekalipun kaki enggan untuk mendatanginya. Aku kalah telak kali ini...

Dirimu tak salah rupanya, karena semua alasanmu adalah aku. Hanya aku saja yang terlalu mudah menuduhmu dengn tamparan yang cukup telak. Aku yang terlalu terbuai emosi hingga merasa enggan untuk mendengar penjelasanmu tentang kejadian malam itu. Aku salah meraba hatiku sendiri rupanya dan menentangnya agar aku tak perlu lagi merasa harus mencintaimu. Sekali lagi, aku lupa. Ini adalah urusan hati yang tak bisa diganggu gugat oleh siapapun, Ah, bodohnya aku ini.

Lalu, kini saat takdir memintaku untuk menebus kesalahpahaman itu, aku justru ingin menghindarinya. Namun, lagi-lagi aku dibenturkan pada hati ini. Aku mencoba menelaah setiap sisi wajahmu dan begitu tertegun saat sorot matamu begitu menatapku dengan tatapan yang masih sama dengan tatapan yang pertama kali kamu berikan padaku. Kehangatanmu dalam bertutur tak pernah diragukan lagi dan begitulah Tuhan membuatku menyerah dan mengatakan dengan sedikit lirih. "Izinkan aku pulang kembali, pada hatimu." Seperti biasanya, dirimu tak pernah menanggapiku dengan ucapan melainkan dengan kelakuan. Ya, dengan erat tubuhku didekap ke dalam dadamu. Cinta selalu paham pada siapa, dia memilih untuk pulang. Dan, cintaku memilih hatimu untuk kembali pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Selamanya Desember Kelabu

Rindu Itu Rasa, Bukan Sekedar Kata-Kata