Cafe Kenangan dan Sudut Kota Tua



Sesekali aku menengok arloji yang melingkar di tangan kiriku, sembari menyeruput isi dari secangkir teh yang ada di genggamanku. Sudah hampir satu jam, aku menunggu di tempat ini, sebuah cafe lama yang menyimpan banyak kenangan tentang semua hal yang sudah aku lalui di sini. Seperti sore ini, aku tengah menanti wanita itu. Wanita yang lebih layak disebut sebagai penggemar tulisan-tulisanku, karena aku mengenalnya memang melalui media sosial. Entah kenapa, aku memutuskan untuk menyanggupi permintaannya, yang berupa pertemuan perdana ini. Tapi, wanita itu tak kunjung datang juga. Padahal, aku sudah menjelaskan padanya secara detail tentang cafe ini bahkan nomor meja ini pun sudah aku kabari padanya. Daripada jenuh menunggu, lebih baik aku memeriksa kembali isi dari novel terbaru yang hampir selesai aku garap alurnya. Dengan seksama, aku membacanya lalu melakukan pengeditan yang dianggap perlu. Pelayan cafe ini pun sudah lima kali menawariku untuk memesan makanan, tapi dengan sabar aku menanggapi tawarannya bahwa aku sedang menunggu seseorang. Seseorang yang sama sekali belum aku temui wujudnya, seseorang yang sama sekali belum aku kenal suaranya, seseorang yang sama sekali belum aku pahami seperti apa tingkahnya dan anehnya seseorang ini adalah wanita. Makhluk Tuhan yang menyimpan banyak rahasia, begitu seorang penyanyi kawakan pernah membuatnya menjadi lirik lagu yang cukup terkenal.

Hampir selesai aku mengedit isi novel, wanita itu tak juga menunjukkan batang hidungnya. Sesekali aku menengok ke arah pintu masuk cafe, tapi tak ada seorang pun yang menghampiri meja ini. Barangkali, ia memang tak bisa datang, begitu hatiku bergumam. Menunggunya hampir dua jam, aku rasa sudah cukup. Dengan sigap, aku mengenakan ransel dan jaket kesayanganku, meninggalkan beberapa lembar uang untuk membayar secangkir teh yang tadi aku nikmati lalu pergi menuju area parkir roda dua untuk mengambil vespa antik, hadiah ulang tahunku dari ayah, sekitar tiga tahun lalu. Setelah yakin, aku pun pergi meninggalkan cafe yang penuh kenangan itu. Kata orang nama itu adalah do’a, kali ini aku harus menyepakati itu. Cafe Kenangan, begitulah nama cafe yang tadi baru saja aku tinggalkan.

Dari cafe, aku meluncur ke daerah Jakarta Utara. Hari ini aku akan mengerjakan proyek foto prewedding, tentu saja bukan aku yang akan menjadi modelnya, tetapi akulah fotografernya. Selain hobi menulis, aku juga mencintai dunia fotografi. Dunia yang membawaku menjelajahi berbagai tempat, mengenal berbagai karakter manusia, bahkan menyajikan beribu inspirasi yang tak pernah putus untuk memulai sebuah tulisan. Mencintai fotografi sudah mendarahdaging dalam keluargaku, ibuku adalah anak dari seorang jurnalis yang begitu lekat dengan kameranya, dan selama masa mudanya, ibuku juga seorang fotografer yang jeli dan banyak memenangkan lomba fotografi, baik tingkat daerah, nasional maupun internasional. Aku selalu bilang pada ibu bahwa beliau adalah wanita yang paling menakjubkan dalam hidupku dan aku bangga terlahir dari rahimnya. Tak terasa, aku sudah sampai di tempat tujuan, seluruh kru sudah tiba di lokasi rupanya. Aku pun segera membantu mereka untuk menyiapkan lokasi pemotretan yang diinginkan oleh calon mempelai. Seorang kru memberi tahu bahwa kedua calon mempelai akan sampai di lokasi dalam waktu sepuluh menit lagi. Aku menanggapi itu dengan acungan ibu jari, lalu kemudian kembali fokus memeriksa persiapan dari kamera yang akan aku gunakan hari ini.

Tak lama, setelah persiapan selesai. Aku dan kru mendapati sebuah mobil mendekat ke lokasi pemotretan yang sudah siap sejak lima menit yang lalu. Setelah mobil diparkir dengan baik, sepasang anak adam pun turun dan melangkah ke arah kami. Layaknya pasangan yang tengah berbahagia, keduanya pun begitu sumringah.  Aku sesekali tersenyum pada mereka, namun tiba-tiba calon mempelai wanitanya mendekat ke arahku. Aroma parfumnya begitu memikat di penciumanku, wanita itu menyebutkan namaku dan beberapa novel dan sajak yang pernah aku tulis. Aku menelaah wajahnya yang cantik itu secara detail, lalu dia memintaku untuk menjabat tangannya. Sembari berjabat, ia mengatakan bahwa Cafe Kenangan tak harus menjadi saksi pertemuan, barangkali bertemu di tempat yang baru jauh lebih menyenangkan. Lalu ia menyebutkan namanya dengan jelas. Bagai disambar petir di siang bolong, aku tersadar bahwa wanita yang baru saja aku jabat tangannya itu adalah wanita yang hampir dua jam lebih aku nantikan kehadirannya di Cafe Kenangan tadi, dan ternyata ia lebih memilih untuk menemuiku di tempat yang berbeda dalam situasi yang sulit aku percaya, bahwa ia dan kekasihnya adalah sepasang merpati yang akan segera lepas landas mengarungi bahtera rumah tangga. Takdir-Mu begitu lucu hari ini, Tuhan. Terlalu lucu sampai tawaku tak bisa dimaknai apa maksudnya.

Setelah memotret beberapa pose, aku meminta sepasang kekasih dan kru untuk beristirahat sembari menunggu cahaya matahari sedikit lebih meredup agar si wanita itu tetap cantik. Sesekali mataku mencuri ke arah wanita itu berada. Namanya Andari Septiani, begitu tadi ia memperkenalkan diri. Wanita pemilik senyuman manis dan daya tarik yang begitu kuat ini, mampu memukau siapapun yang mengenalnya. Termasuk lelaki kacau sepertiku, tapi sayangnya Andari akan segera menikah. Kalau tidak salah, pernikahannya akan berlangsung sekitar satu bulan lagi. Beruntung sekali Bima, bisa memperistri seorang Andari. Andai saja aku yang menjadi Bima? Apa-apaan aku ini, baru saja mengenal Andari beberapa jam yang lalu sudah mau memperistrinya. Dasar gorilla alias si gondrong gila. Setelah cuaca memungkinkan, maka kami pun kembali memulai pemotretan prewedding ini hingga usai.

Andari dan Bima baru saja berpamitan pada aku dan kru, untuk kembali ke kediaman mereka masing-masing. Sekali lagi, Andari berjabat tangan denganku bahkan Bima pun memberikan undangan pernikahannya kepada aku dan kru, sebab jasa kami masih diperlukan untuk mengabadikan momen-momen berharga bagi keduanya di hari pernikahan mereka nanti. Lagi-lagi semacam ada sembilu yang menusuk hatiku. Entahlah, kenapa bisa begitu. Yang aku tahu, aku jatuh hati pada Andari. Ini juga lucu, Tuhan. Wanita itu sudah Engkau berikan pada Bima, lantas Engkau membiarkan aku jatuh cinta padanya juga. Aku suka Gaya-Mu, Tuhan. Senja menyapa dengan keanggunannya, saat aku mengendarai vespaku menuju ke rumah. Ingin segera aku temui ibu, lantas menanyakan pada malaikat berwujud manusia itu tentang jatuh hatinya aku pada Andari. Ibu pasti tahu dimana aku harus meletakkan hatiku kali ini.

Sesampainya di rumah, aku mendapati lelaki paruh baya sedang memainkan sebuah lagu romantis dengan biola kesayangannya. Itulah ayahku, lelaki kharismatik yang mampu membuat ibuku begitu menggilainya. Aku rasa ibu sudah benar memilih ayah, sebab ayah adalah lelaki yang sopan dan sangat melindungi ibu. Wanita mana yang tak ingin dilindungi, aku rasa tak ada. Bahkan jikalau seorang wanita itu berpakaian gagah layaknya seorang perwira sekalipun, dia tetap akan membutuhkan perlindungan dari seseorang yang biasa disebut lelaki. Aku pun menyalami ayah, dan menanyakan perihal keberadaan ibu. Ayah bilang perempuan abadinya itu, tengah memasak makanan kesukaanku di dapur. Aku suka heran kenapa ayah memberikan julukan perempuan abadi pada ibu. Biar aku cari jawabannya sendiri dari ibu.  Aku segera menemui ibu di dapur, ibu nampak begitu sibuk bersama seorang pekerja rumah tangga yang sudah hampir lima tahun ini membantu ibu menyelesaikan tugas-tugasnya. Saat mendapati kehadiranku di dapur, ibu langsung meminta Lastri menyelesaikan ulekan sambal terasi yang sudah hampir halus itu, sebab ibu harus mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum sebuah pelukan hangat mendarat bebas di tubuhku. Aku mengecup kening ibu dengan lembut dan ibu mengajakku duduk di sebuah dipan yang terletak di taman belakang rumah kami. Tak lupa, ibu meminta Lastri untuk membuatkan teh dengan sedikit gula untukku. Lantas, ibu menyentuh bahuku, seakan paham bahwa ada hal penting yang harus aku sampaikan padanya.

“Ada apa, Nak? Mengapa kamu terlihat begitu cemas?” Tanya ibu padaku.
“Aku jatuh cinta, bu.” Ujarku dengan nada yang agak tercekat.

Entah apa yang ibu pahami, tetiba saja teh hangat buatan Lastri, beliau sodorkan ke arahku. Aku pun meneguknya sedikit. Ibu, perempuan abadinya ayah ini, menatapku dengan seksama lalu tersenyum. Ibu menanyakan siapa wanita itu, aku lantas menceritakan siapa Andari Septiani dan bagaimana kisah perkenalan kami. Bahkan soal rencana pernikahan Andari dan Bima pun tak luput dari ocehanku pada ibu. Ibu tak bergeming, masih tersenyum hingga aku usai menceritakan soal hatiku padanya.

“Apakah aku salah, bu?” Tanyaku sembari melahap sepotong kue nastar yang disediakan oleh Lastri.
“Sebelum bertanya begitu, harusnya kamu lebih dulu menunjukkan pada ibu di mana letak kesalahan yang kamu maksud itu. Tidak ada. Cinta itu hadir dengan sendirinya. Bukan atas permintaanmu atau permintaan Andari. Kamu itu putera tunggal dari sang maestro biola, ibu yakin cinta itu tidak membuatmu kalah begitu saja.” Ujar Ibu penuh optimis.
“Ibu benar.” Ujarku sembari mengecup pipi lembutnya. Lalu, berlari menuju ke kamarku.

Usai mencurahkan isi hati pada ibu, hatiku agak lebih tenang daripada sebelumnya. Aku meletakkan ranselku dan bergegas untuk mandi. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku pun membuka kembali facebook dan emailku. Untuk memeriksa hal-hal penting di sana, dan tak aku sangka Andari sedang aktif juga di facebook. Bahkan, wanita itu sempat me-like beberapa statusku di sana. Ah, kau ini. Semacam candu yang tak bisa aku nikmati dengan bebas sebab kau akan menjadi milik Bima. Ketukan pintu dari Lastri membuyarkan lamunanku tentang Andari. Aku pun membukakan pintu kamar untuk Lastri, dengan penuh kelembutan Lastri menyampaikan bahwa ayah dan ibu sudah menungguku untuk makan malam. Astaga, terlalu asyik dengan Andari, aku sampai lupa bahwa hari sudah menjelang malam.

Tanpa menunggu lama, aku pun segera menuju ke ruang makan.  Ayah sedikit menggurauku dengan nama Andari, rupanya ibu sudah menceritakan perihal hatiku pada beliau. Sebagai lelaki, ayah ingin aku tidak lemah dalam urusan perasaan ini. Cinta itu harus diperjuangkan, begitu pesan beliau padaku. Kali ini aku mengamini pesan dari ayah, beliau bukan sekedar maestro biola rupanya, tetapi juga penasihat cinta yang bijaksana. Usai makan malam dan bercengkerama bersama ayah dan ibu, aku memutuskan untuk beristirahat, sebab  besok pagi, aku harus mengerjakan proyek foto ulang tahun pernikahan sepasang suami istri yang ke-10 tahun, di daerah Bogor, Jawa Barat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tak Selamanya Desember Kelabu

Kepadamu, Hatiku Memilih Untuk Pulang

Rindu Itu Rasa, Bukan Sekedar Kata-Kata